Rabu, 28 Juli 2010

Susno Duadji Berpotensi Jadi Ketua KPK

Dipecat (dikorbankan) walau merasa bukan dia yang salah, dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK dan Bank Century, Komjen Pol. Drs. Susno Duadji, SH, MSc, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri (24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009), menunjukkan keberanian membuka tabir (whistleblower) makelar kasus di Mabes Polri. Sehingga membuka mata publik bahwa mantan Kapolda Jawa Barat, kelahiran Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juli 1954, itu berpotensi menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode berikutnya.

Keberanian Komjen Pol. Drs. Susno Duadji, SH, MSc membuka beberapa kasus dalam tubuh Polri, di mata banyak orang telah menunjukkan integritas dirinya yang berpotensi jadi pimpinan KPK. Susno, sebagai seorang jenderal polisi berbintang tiga, pastilah bukan seorang yang putih bersih seperi kapas. Ibarat sepatu atau sapu yang dipakai pastilah terkena kotor. Tetapi, keberaniannya membuka aib dalam institusinya, cukup mengindikasikan dia seorang pejabat tinggi polisi yang relatif bersih dan punya keberanian dan ketegasan sikap memberantas korupsi.

Suatu integritas dan keberanian yang amat tergolong langka di negeri ini. Ketika banyak orang, pejabat, cendekia, lebih mencari aman dan bersuara seolah-olah untuk mendulang pencitraan tinggi. Sehingga negeri ini semakin tinggi peringkat skor terkorupnya di Asia Pasifik dari skor 8, 28 tahun 2008 menjadi 9,27 tahun 2009.

Sehingga pantaslah bila ada beberapa pihak yang memandang Susno Duadji pantas dan berkesempatan menjadi pimpinan KPK. "Melihat keteguhan sikap Susno Duadji, maka rasanya dia sangat patut dijadikan ketua KPK. Susno pantas dan mampu memimpin KPK, dan KPK butuh pimpinan yang berkualitas seperti dirinya," kata salah satu tokoh pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) Dr Ir Ricky Avenzora, MScF di Jakarta, Selasa (23/3/2010).

Menurut Ricky, rekam jejak Susno adalah sangat jelas, dan juga sangat teruji baik saat menjadi Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat. Ricky merupakan satu dari 88 tokoh Pernasindo yang didirikan awal Juni 2006. Deklarator perhimpunan ini antara lain mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, Christianus Siner Key Timu dari Petisi 50, Guruh Soekarnoputra, Jaya Suprana, Luhut MP Pangaribuan, Revrisond Baswir, Ermaya Suradinata, Salahuddin Wahid, Sri Edi Swasono, dan Aria Bima. Kwik Kian Gie menjadi Ketua Presidiumnya.

Pernyataan senada juga dikemukakan Ketua Indonesia Police Watch Neta S Pane bahwa mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji layak menjadi Ketua KPK. Neta S Pane mengatakan, pernyataan Susno yang membeberkan dugaan keterlibatan petinggi Polri dalam skandal korupsi merupakan suatu kebaranian. Karena itu, jenderal bintang tiga itu layak menjadi Ketua KPK meski membutuhkan proses yang panjang.

Walaupun, Neta lebih berharap, Susno menjabat sebagai Kapolri menggantikan Bambang Hendarso Danuri. Karena, Neta melihat, sosok Susno mampu memperbaiki citra Polri yang selama ini terkesan buruk.

Sementara Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, ketika menyatakan menyambut baik mundurnya Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, dari jabatannya, menyebut salah satu figur yang dinilai cocok untuk menggantikan Tumpak adalah Susno Duadji.

Jejak Rekam Susno
Mantan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat itu sudah mengunjungi 90 negara untuk belajar menumpas kasus korupsi. Dia lulusan Akabri Kepolisian (1977), PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) dan Sespati Polri. Selain itu dia juga lulusan S-1 Hukum, dan S-2 Manajemen.

Suami dari Herawati dan ayah dari dua orang putri, itu juga menekuni kursus dan pelatihan di antaranya Senior Investigator of Crime Course (1988), Hostage Negotiation Course (Antiteror) di Universitas Louisiana AS (2000), Studi Perbandingan Sistem Kriminal di Kuala Lumpur Malaysia (2001), Studi Perbandingan Sistem Polisi di Seoul, Korea Selatan (2003), serta Training Anti Money Laundering Counterpart di Washington, DC, AS.

Anak kedua dari delapan bersaudara dari ayahnya Duadji, seorang sopir, dan ibunya, Siti Amah, pedagang kecil, itu mulai meniti karir di kepolisian sebagai perwira polisi lalu lintas. Karirnya mulai menanjak setelah dipercaya menjabat Wakapolres Yogyakarta. Kemudian naik menjadi Kapolres di Maluku Utara, Kapolres Madiun, dan Kapolresta Malang.

Kemudian Susno ditarik ke Jakarta, menjadi Kepala Bidang Penerapan Hukum Divisi Pembinaan Hukum di Mabes Polri. Dia pun dipercaya mewakili institusi Polri membentuk KPK pada tahun 2003. Saat menjabat Kepala Bidang Penerapan Hukum Divisi Pembinaan Hukum Polri itu dia memperoleh pangkat Kombes. Setelah itu, pada tahun 2004 ditugaskan di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hingga menjabat Wakil Ketua PPATK dan pangkatnya menjadi Inspektur Jenderal (Irjen).

Setelah sekitar tiga tahun di PPATK, Susno dipercaya menjabat Kapolda Jawa Barat mulai 30 Januari 2008 sampai 24 Oktober 2008. Saat menjabat Kepala Polda Jawa Barat, nama Susno mulai mencuat di tingkat nasional. Saat itu, Susno menyatakan perang melawan pungutan liar dalam pelayanan lalulintas. Di depan perwira se-Polda Jawa Barat, dia menyatakan tak perlu ada lagi setoran dan tak perlu ingin kaya karena dari gaji saja sudah cukup. "Kalau mau kaya jangan jadi polisi tetapi pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya yang ingin dilayani," katanya mengingatkan.

Lalu, sejak 24 Oktober 2008, dia diangkat menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menggantikan Bambang Hendarso Danuri, yang kemudian menjabat Kapolri. Kala itu, Indonesia Police Watch berpendapat pengangkatan Susno menjadi Kabareskrim kurang tepat karena dianggap kurang kaya pengalaman di bidang reserse. Sehingga dia dinilai kurang mumpuni memimpin korps reserse se-Indonesia.

Namun, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri justru menilai Susno sebagai sosok yang tepat karena memiliki integritas, konsisten keras, tegas dan tidak kompromis dengan pelaku kejahatan. Hal itu dikemukakan Kapolri, saat Susno naik pangkat menjadi Komisaris Jenderal, 12 November 2008.

Dalam jabatannya sebagai Kabareskrim Polri, Susno Duadji tentu menangani berbagai kasus pidana kriminal dan korupsi. Nama Susno pun makin melambung tinggi. Sempat dicaci kemudian dipuji.

Ketika mencuat kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit dan Chandra), maupun kasus pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Antasari Azhar, nama Susno Duadji amat dibenci sebagian besar publik. Dia dianggap sebagai tokoh penting dalam rekayasa pelemahan KPK itu.

Ketika itu, dia mengibaratkan Polisi sebagai buaya versus KPK sebagai cicak. Sehingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK menjadi lebih populer dengan sebutan Cicak versus Buaya. Istilah ini makin memicu gelombang protes kepada Polri dan menuai dukungan kepada KPK.

Walaupun Susno kemudian menjelaskan bahwa istilah itu dikemukakannya dalam suatu percakapan dengan wartawan tentang teknologi penyadapan yang dimiliki Polri dan KPK. Kalau dari segi teknologi penyadapan, peralatan Polri masih lebih baik dari KPK. Perbandingannya seperti buaya (Polri) dan cicak (KPK). Tapi dari segi kewenangan atau kekuasaan justru sebaliknya KPK (buaya) dan Polri (cicak). Tapi, penjelasan ini tidak bisa lagi menghapus stigma arogansi Polri sebagai buaya versus Kpk sebagai cicak di opini publik.

Kemudian, akibat gelombang dukungan kepada KPK makin besar dan sebaliknya kepercayaan kepada Polri makin rendah, Presiden SBY yang sudah terlambat bersikap, dipaksa membentuk Tim Delapan (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Beberapa hari setelah Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution terbentuk, Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang terbuka memperdengarkan rekaman pembicaraan telepon Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri dan lain-lain. Dalam versi Polri, Anggodo Widjojo adalah menjadi pelapor pemerasan yang dituduhkan dilakukan oleh oknum pimpinan KPK. Sementara dalam versi KPK, Anggodo Widjojo terduga penyuap oknum KPK dan dituduh menghalangi penyidikan atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan pemilik PT Masaro, Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo. Hanya dalam rekaman itu, Anggodo menyebut Truno 3 yang langsung disimpulkan oleh Tim Delapan sebagai Kabareskrim Susno Duadji. Kendati Susno menjelaskan bahwa di Mabes Polri yang disebut Truno 3 itu adalah kode untuk Direktur III Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Sedangkan kode untuk Kabareskrim adalah Tribrata 5. Namun, publik, terutama Tim Delapan, tetap tidak percaya.

Jabatan strategisnya sebagai Kabareskrim, membuat orang merasa yakin bahwa Susno memegang kendali rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK tersebut. Kendati Susno juga telah menjelaskan bahwa dia sebagai Kabareskrim tidak dilibatkan dalam pengusutan dugaan suap dan pemerasan yang dituduhkan kepada pimpinan KPK (Bibit-Chandra), untuk menghindari konflik kepentingan. Kasus ini ditangani Wakabareskrim yang langsung bertanggung jawab ke atas. Tetapi publik, terutama Tim Delapan, selalu tidak percaya.

Dia menyebut untuk menghindari konflik kepentingan, karena pada saat bersamaan KPK tengah mengusut kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century serta kasus korupsi Masaro yang melibatkan Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo. Dalam kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century, disebut ada surat yang ditandatangani Susno. Beredar isu adanya rekaman percakapan telepon antara Susno Duadji dan Lucas (pengacara Budi Sampoerna) menyebut angka 10 yang diasumsikan sebagai pemberian Rp.10 miliar kepada Susno atas keluarnya surat itu. Susno pun hampir menitikkan air mata di depan Komisi III DPR ketika menjelaskan bahwa dia tidak permah menerima Rp.10 miliar dari Budi Sampurna atau siapapun dalam kasus Bank Century.

Sedangkan dalam kasus korupsi PT Masaro, Susno pernah menemui Anggoro (bos Masaro) di Singapura. Susno menjelaskan keberangkatannya ke Singapura menemui Anggoro adalah dalam rangka tugas resmi atas perintah Kapolri, tetapi publik, terutama Tim Delapan, tidak percaya bahwa Susno tidak terlibat.

Tim Delapan mendesak agar Susno Duadji dinonaktifkan selama masa kerja Tim Delapan. Susno sendiri meresponnya dengan secara sukarela menyatakan diri mengundurkan diri dari jabatan Kabareskrim pada tanggal 5 November 2009. Namun, Kapolri hanya menyetujui penonaktifan. Lalu setelah nonaktif, Susno diaktifkan kembali pada 9 November 2009 setelah proses pemeriksaan Tim Delapan atas dirinya selesai.

Namun setelah rekomendasi akhir Tim Delapan disampaikan kepada Presiden pada 16 November 2009, delapan hari berikutnya, tepatnya 24 November 2009, Kapolri secara resmi mengumumkan kepada publik pemberhentian Susno Duadji dari jabatan Kabareskrim. Dia digantikan Komjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto.

Dalam posisi jenderal bintang tiga tidak mempunyai meja di Mabes Polri, susno pun sering mngkir tidak masuk kantor. Lalu dia pun sering tampil dalam forum publik. Dia tampil sebagai whistleblower membuka tabir aib Polri menjadi terbuka di mata publik, yang sebelumnya, sesungguhnya, telah menjadi rahasia umum.

Pertama, Susno tampil menjadi saksi di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/1/2010) dengan membeberkan kesaksian yang meringankan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, yang dilengserkan setelah didakwa sebagai otak pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.

Kedua, Susno Duadji tampil di depan Pansus Angket DPR Kasus Bank Century, Rabu (20/1/2010). Dia antara lain memberikan dokumen yang lalu disebut ‘testimoni’ dan selanjutnya dikembangkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul: Bukan Testimoni Susno Duadji. Testimoni itu antara lain menyangkut kesengajaan (tidak memprioritaskan) melanjutkan penyidikan kasus bail out Bank Century karena ada yang diduga terlibat sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden dan kemudian menang.

Ketiga, Susno Duadji mengungkap aib makelar kasus pencucian uang dan pajak di Mabes Polri, dalam diskusi bukunya, Bukan Testimoni Susno, Rabu (10/3/2010) di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, dan kemudian melaporkannya kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada Kamis (18/3/2010). ► ti/crs


BIODATA

Nama   : Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc.
Lahir    : Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juli 1954
Agama  : Islam
Pangkat: Komisaris Jenderal Polisi
Jabatan : Kabareskrim Mabes Polri (24 Oktober 2008 – 30 November 2009)

Istri :Herawati
Anak:Dua puteri
Ayah:Duadji
Ibu   :Siti Amah

Pendidikan:
- Akabri Kepolisian, lulus 1977
- PTIK
- S-1 Hukum
- S-2 Manajemen
- Sespati Polri
- Senior Investigator of Crime Course (1988)
- Hostage Negotiation Course (Antiteror) di Universitas Louisiana AS (2000)
- Studi Perbandingan Sistem Kriminal di Kuala Lumpur Malaysia (2001)
- Studi Perbandingan Sistem Polisi di Seoul, Korea Selatan (2003)
- Training Anti Money Laundering Counterpart di Washington, DC, AS

Karir:
- Perwira polisi lalu lintas
- Wakapolres Yogyakarta
- Kapolres di Maluku Utara, Madiun, dan Malang
- Kepala Bidang Penerapan Hukum Divisi Pembinaan Hukum Polri
- Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK)
- Kapolda Jabar 30 Januari 2008 sampai 24 Oktober 2008
- Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri (24 Oktober 2008 – 30 November 2009)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar